Sunday, 21 September 2014

TUNA NETRA DAN GAJAH



TUNA NETRA DAN GAJAH
 
Alkisah lima orang tuna netra
mereka pergi bersama-sama
menuju ke Taman Marga Satwa
kebun binatang Ragunan, Jakarta
menonton gajah sesuai keinginannya.

Setibanya di Taman Marga Satwa
mereka kemudian bertanya-tanya:
“Wahai gajah engkau berada di mana?”
tidak seorang pun memedulikan mereka
tatapi, ada seorang berpakain pramuka
sangat baik berkenan menuntun mereka
menuju ke tempat gajah sedang berada.

Bertemu gajah, bergembiralah mereka
gajah itu lalu bersama-sama diraba-raba
tapi perabaan masing-masing tidak sama
oleh karena tidak sama jelas berbeda-beda.

Tuna netra Si Andut meraba di belalainya,
kemudian dengan suara lantang ia berkata:
“Ee..., gajah itu gembur kenyal nyata-nyata
seperti halnya lintah yang amat besar saja,
karena bergerak-gerak seperti ular kobra”.

Tuna netra Si Brekele meraba bagian telinga,
lalu dengan suara agak sinis terlontar kata:
“Andut jelas bohong, janganlah jadi jumawa
gajah ini seperti kipas besar, begitulah kiranya.”

Lain halnya sama Cekidot yang sok tahu semua
dua kaki gajah yang di belakang dia raba-raba
lalu, dia membantah kata-kata dua saudaranya:
“Kalau tidak melihat itu, ya janganlah berkata,
ini saya buktikan sendiri, gajah itu sepertinya
pohon pinang yang panjang besar bulat saja”.

Dower mendengar ketiga temannya lalu tertawa,
perut gajah besar kebetulan sedang dia raba-raba,
lalu dengan pongahnya memberi nasihat ke semua:
“Mengertilah sesungguhnya wahai sahabat semua,
bahwa yang benar gajah itu seperti beduk masjid raya”.

“We lha..., semua sahabatku ngawur itu bagaimana”,
Si Engkai dengan lantang menyanggah teman-temannya,
kebetulan ekor gajah yang berbulu sedang diraba-rabanya,
“Gajah itu seperti seekor belut berbulu, bergerak-gerak saja”.

Kelima tuna netra itu lalu saling berbantah
tiada seorang pun dari mereka mau mengalah
meskipun pendapat mereka itu jelas-jelas salah
tetap yang benar hanya pendapat masing-masinglah
untunglah si pramuka melerainya dengan ramah-tamah.

“Sabar..., sabarlah..., Saudara-saudaraku yang tercinta.
Sudilah kiranya engkau sekalian menenangkan jiwa.
Masing-masing hanya menyentuh satu bagian saja,
dan tentulah hal itu keliru cara kalian memahaminya.
Tidak ada akal pikiran manusia yang tahu segalanya.
Semua membayangkan sesuatu yang salah adanya.

Ciptaan tidak mengetahui tentang keilahian Yang Esa.
Tidak ada jalan dalam ilmu pengetahuan ini yang bisa
ditempuh hanya dengan kemampuan yang biasa saja.

Bekasi 21 September 2014


Catatan:
Kisah ini lebih populer dalam versi Rumi, 
The Elephant in The Dark House,
yang dimuat dalam Matsnawi.
Guru Rumi, Hakim Sanai,
lebih dahulu mengisahkan kisah ini
lewat buku pertamanya,
sebuah karya klasik The Walled Garden of the Truth.
Kisah ini diambil dari buku
Olah Rasa di Dalam Rasa (2013:87--88)
karya R. Soenarto Mertowardojo


Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan