Nama aslinya adalah Mas Karèbèt,
putra tunggal Ki Ageng Pengging Handayaningrat atau juga disebut Ki Kebo
Kenanga. Ketika dia dilahirkan, ayahnya sedang menggelar pertunjukan wayang
beber dengan dalang Ki Ageng Tingkir. Kedua ki ageng ini adalah murid kinasih Syekh
Siti Jenar. Sepulang dari mendalang dari Pengging itu Ki Ageng Tingkir jatuh
sakit dan akhirnya meninggal dunia.
Sepuluh tahun kemudian ada
peristiwa yang menggegerkan Tanah Jawa, yaitu Ki Ageng Pengging dihukum mati
karena dituduh memberontak terhadap Kesultanan Demak. Sebagai pelaksana hukuman
ialah Sunan Kudus. Setelah kematian suaminya, Nyai Ageng Pengging jatuh sakit
dan meninggal dunia pula. Sejak saat itu, Mas Karebet diambil sebagai anak
angkat oleh Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir).
Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda
yang gemar menuntut ilmu kanuragan dan kesuksmaan, dan kemudian dia dijuluki
Jaka Tingkir, seorang perjaka tangkas dari desa Tingkir. Guru pertamanya adalah
Sunan Kalidjaga yang menemuinya ketika dia sedang matun (menyiangi tanaman
padi) di tengah sawah. Dia juga berguru kepada Ki Ageng Sela, yang terkenal
dapat menangkap petir, dan dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng Sela, yaitu
Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi.
Mengabdi ke Demak
Babad Tanah Jawi selanjutnya
mengisahkan, Jaka Tingkir ingin mengabdi ke ibu kota Demak. Di sana ia tinggal di rumah Kyai Gandamustaka
(saudara Nyi Ageng Tingkir) yang menjadi perawat Masjid Demak berpangkat lurah
ganjur. Jaka Tingkir pandai menarik simpati Sultan Trenggana sehingga ia
diangkat menjadi kepala prajurit Demak berpangkat lurah wiratamtama.
Beberapa waktu tahun kemudian,
Jaka Tingkir bertugas menyeleksi penerimaan prajurit baru. Ada seorang pelamar bernama Dadung Awuk yang
sombong dan suka pamer kesaktian. Jaka Tingkir menguji kesaktiannya dan Dadung
Awuk pun seketika tewas hanya dengan menggunakan “Sadak Kinang’. Akibatnya,
Jaka Tingkir pun dipecat dari ketentaraan dan diusir dari Demak.
Jaka Tingkir tanpa tujuan pasti
meninggalkan Demak Bintara, dan kemudian berguru kepada Ki Ageng Banyubiru dan
Ki Kebo Kanigoro (saudara seperguruan ayahnya). Setelah tamat dari berguru
tersebut, dia kembali ke Demak bersama ketiga murid yang lain, yaitu Mas Manca,
Mas Wila, dan Ki Wuragil.
Rombongan Jaka Tingkir dari
Bayubiru menyusuri Sungai Kedung Srengenge menggunakan rakit. Muncul kawanan
siluman buaya menyerang mereka namun dapat ditaklukkan. Bahkan, kawanan
tersebut kemudian membantu mendorong rakit sampai ke tujuan, yang ditembangkan
sebagai berikut.
Sigra milir,
sang gethek sinangga bajul,
kawan dasa kang njageni,
ing ngarsa miwah ing pungkur,
tanapi ing kanan-kering,
sang gethek lampahnya alon.
Segera mengalir
sang rakit disangga oleh buaya-buaya,
empat puluh buaya yang menjaganya,
di depan serta di belakang,
juga di kanan dan di kiri,
sang rakit melaju tenang
(menuju ke istana Demak Bintara).
Pada saat itu Sultan Trenggana
sekeluarga sedang berwisata di Gunung Prawoto. Jaka Tingkir melepas seekor
kerbau gila yang dinamakan sebagai Kebo Danu yang sudah diberi mantra (diberi
tanah kuburan pada telinganya). Kerbau itu mengamuk menyerang pesanggrahan sultan
yang pada waktu itu tidak ada prajurit yang mampu menangkap kebondanu tersebut,
apalagi membunuhnya, semuanya ketakutan. Jaka Tingkir tampil menghadapi kerbau
gila. Kerbau itu dengan mudah dibunuhnya. Atas jasanya itu, Sultan Trenggana
mengangkat kembali Jaka Tingkir menjadi lurah wiratamtama.
Kisah dalam naskah-naskah babad
tersebut seolah hanya kiasan bahwa setelah dipecat, Jaka Tingkir menciptakan
kerusuhan di Demak, dan dia tampil sebagai pahlawan yang meredakannya. Oleh
karena itu, dia pun mendapatkan simpati Sultan kembali.
Menjadi Sultan Pajang
Prestasi Jaka Tingkir sangat
cemerlang meskipun tidak diceritakan secara jelas dalam Babad Tanah Jawi. Hal
itu dapat dilihat dengan diangkatnya Jaka Tingkir sebagai Adipati Pajang
bergelar Adipati Hadiwijaya. Dia juga menikahi Ratu Mas Cempa, putri Sultan
Trenggana.
Sepeninggal Sultan Trenggana
tahun 1546, putranya yang bergelar Sunan Prawoto seharusnya naik takhta, tapi
kemudian dia tewas dibunuh Arya Penangsang (sepupunya di Jipang) tahun 1549.
Arya Penangsang membunuh karena Sunan Prawoto sebelumnya membunuh juga ayah Arya
Penangsang yang bernama Pangeran Sekar Seda Lepen (Bunga yang tewas di sungai) sewaktu
ayah Arya Penangsang tersebut menyelesaikan salat ashar di tepi Bengawan Sore.
Pangeran Sekar merupakan adik Kandung Sultan Trenggana sekaligus juga merupakan
murid pertama Sunan Kudus. Pembunuhan-pembunuhan ini dilakukan dengan
menggunakan Keris Kiai Setan Kober. Selain itu, Arya Penangsang juga membunuh
Pangeran Hadiri suami dari Ratu Kalinyamat yang menjadi bupati Jepara.
Kemudian Arya Penangsang mengirim
utusan untuk membunuh Hadiwijaya di Pajang, tetapi gagal. Justru Hadiwijaya
menjamu para pembunuh itu dengan baik, serta memberi mereka hadiah untuk
mempermalukan Arya Penangsang. Sepeninggal suaminya, Ratu Kalinyamat (adik
Sunan Prawoto) mendesak Hadiwijaya agar menumpas Arya Penangsang karena hanya
ia yang setara kesaktiannya dengan adipati Jipang tersebut. Hadiwijaya segan
memerangi Arya Penangsang secara langsung karena sama-sama anggota keluarga
Demak dan merupakan saudara seperguruan sama-sama murid Sunan Kudus.
Oleh karena itu, Hadiwijaya pun segera
mengadakan sayembara. Barang siapa dapat membunuh Arya Penangsang akan
mendapatkan tanah Pati dan hutan mentaok/ Mataram sebagai hadiah. Sayembara
diikuti kedua cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi.
Dalam perang itu, Ki Juru Martani (kakak ipar Ki Ageng Pemanahan) berhasil
menyusun siasat cerdik sehingga sehingga Sutawijaya (Anak Ki Ageng Pemanahan)
dapat menewaskan Arya Penangsang setelah menusukkan Tombak Kyai Plered ketika
Arya Penangsang menyeberang Bengawan Sore dengan mengendarai Kuda Jantan Gagak
Rimang.
Setelah peristiwa tahun 1549
tersebut, pusat kerajaan tersebut kemudian dipindah ke Pajang dengan Sultan Hdiwijaya
sebagai sultan pertama. Demak kemudian dijadikan Kadipaten dengan anak Sunan
Prawoto yang menjadi Adipatinya. Sultan Hadiwijaya juga mengangkat rekan-rekan
seperjuangannya dalam pemerintahan. Mas Manca dijadikan patih bergelar Patih
Mancanegara, sedangkan Mas Wila, dan Ki Wuragil dijadikan menteri berpangkat
ngabehi.
Sumpah setia Ki Ageng
Mataram
Sesuai perjanjian sayembara, Ki
Panjawi mendapatkan tanah di Pati dan bergelar Ki Ageng Pati. Sementara itu, Ki
Ageng Pemanahan masih menunggu karena seolah-olah Sultan Hadiwijaya menunda-nunda
penyerahan tanah Mataram. Sampai tahun 1556, tanah Mataram masih ditahan Sultan
Hadiwijaya. Ki Ageng Pemanahan segan untuk meminta. Sunan Kalijaga selaku guru
tampil sebagai penengah kedua muridnya itu. Ternyata, alasan penundaan hadiah
adalah dikarenakan rasa cemas Sultan Hadiwijaya ketika mendengar ramalan Sunan
Prapen bahwa di Mataram akan lahir sebuah kerajaan besar yang mampu mengalahkan
kebesaran Kerajaan Pajang. Ramalan itu didengarnya saat beliau dilantik menjadi
sultan usai kematian Arya Penangsang.
Sunan Kalidjaga meminta Sultan Hadiwijaya
agar menepati janjinya karena sebagai raja dia adalah panutan rakyat.
Sebaliknya, Ki Ageng Pemanahan juga diwajibkan bersumpah setia taat kepada
Pajang. Ki Ageng Pemanahan pun bersedia. Maka, selanjutnya Sultan Hadiwijaya
pun rela menyerahkan tanah Mataram kepada kakak angkatnya itu.
Tanah Mataram adalah bekas
kerajaan kuno, bernama Kerajaan Mataram yang saat itu sudah tertutup hutan
bernama Alas Mentaok. Ki Ageng Pemanahan sekeluarga, termasuk Ki Juru Martani,
membuka hutan tersebut menjadi desa Mataram. Meskipun hanya sebuah desa tetapi bersifat
perdikan atau sima swatantra. Ki Ageng Pemanahan yang kemudian bergelar Ki
Ageng Mataram, hanya diwajibkan menghadap ke Pajang secara rutin sebagai bukti
kesetiaan tanpa harus membayar pajak dan upeti.
Menundukkan Jawa Timur
Saat naik tahta, kekuasaan Sultan
Hadiwijaya hanya mencakup wilayah Jawa Tengah saja, karena sepeninggal Sultan
Trenggana, banyak daerah bawahan Demak yang melepaskan diri. Negeri-negeri di
Jawa Timur yang tergabung dalam Persekutuan Adipati Bang Wetan saat itu
dipimpin oleh Panji Wiryakrama bupati Surabaya.
Persekutuan adipati tersebut sedang menghadapi ancaman invansi dari berbagai
penjuru, yaitu Pajang, Madura, dan Blambangan.
Pada tahun 1568 Sunan Prapen
penguasa Giri Kedaton menjadi mediator pertemuan antara Sultan Hadiwijaya
dengan para adipati Bang Wetan. Sunan Prapen berhasil meyakinkan para adipati
sehingga mereka bersedia mengakui kedaulatan Kesultanan Pajang di atas negeri
yang mereka pimpin. Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama diambil
sebagai menantu oleh Sultan Hadiwijaya. Selain itu, Sultan Hadiwijaya juga
berhasil menundukkan Madura setelah penguasa pulau itu yang bernama Raden
Pratanu bergelar Panembahan Lemah Duwur Arosbaya menjadi menantunya.
Dalam pertemuan tahun 1568 itu,
Sunan Prapen untuk pertama kalinya berjumpa dengan Ki Ageng Pemanahan dan untuk
kedua kalinya meramalkan bahwa Pajang akan ditaklukkan Mataram melalui
keturunan Ki Ageng tersebut. Mendengar ramalan tersebut, Sultan Hadiwijaya
tidak lagi merasa cemas karena beliau menyerahkan semuanya pada kehendak
takdir.
Pemberontakan Sutawijaya
Sutawijaya adalah putra Ki Ageng
Pemanahan yang juga menjadi anak angkat Sultan Hadiwijaya. Sepeninggal ayahnya
tahun 1575, Sutawijaya menjadi penguasa baru di Mataram, dan diberi hak untuk
tidak menghadap selama setahun penuh. Waktu setahun berlalu dan Sutawijaya
tidak datang menghadap. Sultan Hadiwijaya mengirim Ngabehi Wilamarta dan
Ngabehi Wuragil untuk menanyakan kesetiaan Mataram. Mereka menemukan Sutawijaya
bersikap kurang sopan dan terkesan ingin memberontak. Namun, kedua pejabat
senior itu pandai menenangkan hati Sultan Hadiwijaya melalui laporan mereka
yang disampaikan secara halus.
Tahun demi tahun berlalu, dan
Sultan Hadiwijaya mendengar kemajuan Mataram semakin pesat. Beliau pun kembali
mengirim utusan untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya. Kali ini yang berangkat
adalah Pangeran Benawa (putra mahkota), Arya Pamalad (menantu yang menjadi
adipati Tuban), serta Patih Mancanegara. Ketiganya dijamu dengan pesta oleh
Sutawijaya. Di tengah keramaian pesta, putra sulung Sutawijaya yang bernama
Raden Rangga membunuh seorang prajurit Tuban yang didesak Arya Pamalad. Arya
Pamalad sendiri sejak awal kurang suka dengan Sutawijaya sekeluarga.
Oleh karena itu, sesampainya di
Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, sedangkan Pangeran Benawa
menjelaskan kalau peristiwa pembunuhan tersebut hanya kecelakaan saja. Sultan Hadiwijaya
menerima kedua laporan itu dan berusaha menahan diri.
Pada tahun 1582 seorang keponakan
Sutawijaya yang tinggal di Pajang, bernama Raden Pabelan dihukum mati karena
berani menyusup ke dalam keputrian menemui Ratu Sekar Kedaton (putri bungsu
Adiwijaya). Ayah Pabelan yang bernama Tumenggung Mayang dijatuhi hukuman buang
karena diduga ikut membantu anaknya. Ibu Raden Pabelan yang merupakan adik
perempuan Sutawijaya meminta bantuan ke Mataram. Sutawijaya pun mengirim utusan
untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya ke Semarang.
Kematian Sultan
Perbuatan Sutawijaya itu menjadi
alasan Sultan Hadiwijaya untuk menyerang Mataram. Perang antara kedua pihak pun
meletus. Pasukan Pajang bermarkas di Prambanan dengan jumlah lebih banyak, tetapi
menderita kekalahan. Sultan Hadiwijaya semakin tergoncang mendengar Gunung
Merapi tiba-tiba meletus dan laharnya ikut menerjang pasukan Pajang yang
berperang dekat gunung tersebut.
Sultan Hadiwijaya menarik
pasukannya mundur. Dalam perjalanan pulang, beliau singgah ke makam Sunan
Tembayat tetapi tidak mampu membuka pintu gerbangnya. Hal itu dianggapnya
sebagai firasat kalau ajalnya segera tiba. Sultan Hadiwijaya pun melanjutkan
perjalanan pulang. Di tengah jalan beliau jatuh dari punggung gajah
tunggangannya, sehingga harus diusung dengan tandu. Sesampai di Pajang, datang
makhluk halus anak buah Sutawijaya bernama Ki Juru Taman memukul dada Sultan Hadiwijaya,
membuat sakitnya bertambah parah.
Sultan Hadiwijaya berwasiat
supaya anak-anak dan menantunya jangan ada yang membenci Sutawijaya, karena
perang antara Pajang dan Mataram diyakininya sebagai takdir. Selain itu,
Sutawijaya sendiri adalah anak angkat Sultan Hadiwijaya yang dianggapnya
sebagai putra tertua. Pada cerita rakyat dinyatakan bahwa sebenarnya Sutawijaya
adalah anak kandung Sultan Hadiwijaya dengan anak Ki Ageng Sela. Sultan Hadiwijaya
alias Jaka Tingkir alias Mas Karebet akhirnya meninggal dunia tahun 1582. Sesuai
dengan wasiatnya, beliau dimakamkan di desa Butuh, yaitu kampung halaman ibu
kandungnya.
(Dikutip dan dirangkai dari
berbagai sumber, antara lain: Babad Tanah Jawi. Cetakan keempat 2008. Yogyakarta: Penerbit Narasi; dan sebuah novel berjudul
Joko Tongkir: Berjuang demi Takhta Pajang. Agus Wahyudi. 2010. Yogyakarta: Penerbit Narasi)
Sepuluh tahun kemudian ada
peristiwa yang menggegerkan Tanah Jawa, yaitu Ki Ageng Pengging dihukum mati
karena dituduh memberontak terhadap Kesultanan Demak. Sebagai pelaksana hukuman
ialah Sunan Kudus. Setelah kematian suaminya, Nyai Ageng Pengging jatuh sakit
dan meninggal dunia pula. Sejak saat itu, Mas Karebet diambil sebagai anak
angkat oleh Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir).
Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda
yang gemar menuntut ilmu kanuragan dan kesuksmaan, dan kemudian dia dijuluki
Jaka Tingkir, seorang perjaka tangkas dari desa Tingkir. Guru pertamanya adalah
Sunan Kalidjaga yang menemuinya ketika dia sedang matun (menyiangi tanaman
padi) di tengah sawah. Dia juga berguru kepada Ki Ageng Sela, yang terkenal
dapat menangkap petir, dan dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng Sela, yaitu
Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi.
Mengabdi ke Demak
Babad Tanah Jawi selanjutnya
mengisahkan, Jaka Tingkir ingin mengabdi ke ibu kota Demak. Di sana ia tinggal di rumah Kyai Gandamustaka
(saudara Nyi Ageng Tingkir) yang menjadi perawat Masjid Demak berpangkat lurah
ganjur. Jaka Tingkir pandai menarik simpati Sultan Trenggana sehingga ia
diangkat menjadi kepala prajurit Demak berpangkat lurah wiratamtama.
Beberapa waktu tahun kemudian,
Jaka Tingkir bertugas menyeleksi penerimaan prajurit baru. Ada seorang pelamar bernama Dadung Awuk yang
sombong dan suka pamer kesaktian. Jaka Tingkir menguji kesaktiannya dan Dadung
Awuk pun seketika tewas hanya dengan menggunakan “Sadak Kinang’. Akibatnya,
Jaka Tingkir pun dipecat dari ketentaraan dan diusir dari Demak.
Jaka Tingkir tanpa tujuan pasti
meninggalkan Demak Bintara, dan kemudian berguru kepada Ki Ageng Banyubiru dan
Ki Kebo Kanigoro (saudara seperguruan ayahnya). Setelah tamat dari berguru
tersebut, dia kembali ke Demak bersama ketiga murid yang lain, yaitu Mas Manca,
Mas Wila, dan Ki Wuragil.
Rombongan Jaka Tingkir dari
Bayubiru menyusuri Sungai Kedung Srengenge menggunakan rakit. Muncul kawanan
siluman buaya menyerang mereka namun dapat ditaklukkan. Bahkan, kawanan
tersebut kemudian membantu mendorong rakit sampai ke tujuan, yang ditembangkan
sebagai berikut.
Sigra milir,
sang gethek sinangga bajul,
kawan dasa kang njageni,
ing ngarsa miwah ing pungkur,
tanapi ing kanan-kering,
sang gethek lampahnya alon.
Segera mengalir
sang rakit disangga oleh buaya-buaya,
empat puluh buaya yang menjaganya,
di depan serta di belakang,
juga di kanan dan di kiri,
sang rakit melaju tenang
(menuju ke istana Demak Bintara).
sang gethek sinangga bajul,
kawan dasa kang njageni,
ing ngarsa miwah ing pungkur,
tanapi ing kanan-kering,
sang gethek lampahnya alon.
Segera mengalir
sang rakit disangga oleh buaya-buaya,
empat puluh buaya yang menjaganya,
di depan serta di belakang,
juga di kanan dan di kiri,
sang rakit melaju tenang
(menuju ke istana Demak Bintara).
Pada saat itu Sultan Trenggana
sekeluarga sedang berwisata di Gunung Prawoto. Jaka Tingkir melepas seekor
kerbau gila yang dinamakan sebagai Kebo Danu yang sudah diberi mantra (diberi
tanah kuburan pada telinganya). Kerbau itu mengamuk menyerang pesanggrahan sultan
yang pada waktu itu tidak ada prajurit yang mampu menangkap kebondanu tersebut,
apalagi membunuhnya, semuanya ketakutan. Jaka Tingkir tampil menghadapi kerbau
gila. Kerbau itu dengan mudah dibunuhnya. Atas jasanya itu, Sultan Trenggana
mengangkat kembali Jaka Tingkir menjadi lurah wiratamtama.
Kisah dalam naskah-naskah babad
tersebut seolah hanya kiasan bahwa setelah dipecat, Jaka Tingkir menciptakan
kerusuhan di Demak, dan dia tampil sebagai pahlawan yang meredakannya. Oleh
karena itu, dia pun mendapatkan simpati Sultan kembali.
Menjadi Sultan Pajang
Prestasi Jaka Tingkir sangat
cemerlang meskipun tidak diceritakan secara jelas dalam Babad Tanah Jawi. Hal
itu dapat dilihat dengan diangkatnya Jaka Tingkir sebagai Adipati Pajang
bergelar Adipati Hadiwijaya. Dia juga menikahi Ratu Mas Cempa, putri Sultan
Trenggana.
Sepeninggal Sultan Trenggana
tahun 1546, putranya yang bergelar Sunan Prawoto seharusnya naik takhta, tapi
kemudian dia tewas dibunuh Arya Penangsang (sepupunya di Jipang) tahun 1549.
Arya Penangsang membunuh karena Sunan Prawoto sebelumnya membunuh juga ayah Arya
Penangsang yang bernama Pangeran Sekar Seda Lepen (Bunga yang tewas di sungai) sewaktu
ayah Arya Penangsang tersebut menyelesaikan salat ashar di tepi Bengawan Sore.
Pangeran Sekar merupakan adik Kandung Sultan Trenggana sekaligus juga merupakan
murid pertama Sunan Kudus. Pembunuhan-pembunuhan ini dilakukan dengan
menggunakan Keris Kiai Setan Kober. Selain itu, Arya Penangsang juga membunuh
Pangeran Hadiri suami dari Ratu Kalinyamat yang menjadi bupati Jepara.
Kemudian Arya Penangsang mengirim
utusan untuk membunuh Hadiwijaya di Pajang, tetapi gagal. Justru Hadiwijaya
menjamu para pembunuh itu dengan baik, serta memberi mereka hadiah untuk
mempermalukan Arya Penangsang. Sepeninggal suaminya, Ratu Kalinyamat (adik
Sunan Prawoto) mendesak Hadiwijaya agar menumpas Arya Penangsang karena hanya
ia yang setara kesaktiannya dengan adipati Jipang tersebut. Hadiwijaya segan
memerangi Arya Penangsang secara langsung karena sama-sama anggota keluarga
Demak dan merupakan saudara seperguruan sama-sama murid Sunan Kudus.
Oleh karena itu, Hadiwijaya pun segera
mengadakan sayembara. Barang siapa dapat membunuh Arya Penangsang akan
mendapatkan tanah Pati dan hutan mentaok/ Mataram sebagai hadiah. Sayembara
diikuti kedua cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi.
Dalam perang itu, Ki Juru Martani (kakak ipar Ki Ageng Pemanahan) berhasil
menyusun siasat cerdik sehingga sehingga Sutawijaya (Anak Ki Ageng Pemanahan)
dapat menewaskan Arya Penangsang setelah menusukkan Tombak Kyai Plered ketika
Arya Penangsang menyeberang Bengawan Sore dengan mengendarai Kuda Jantan Gagak
Rimang.
Setelah peristiwa tahun 1549
tersebut, pusat kerajaan tersebut kemudian dipindah ke Pajang dengan Sultan Hdiwijaya
sebagai sultan pertama. Demak kemudian dijadikan Kadipaten dengan anak Sunan
Prawoto yang menjadi Adipatinya. Sultan Hadiwijaya juga mengangkat rekan-rekan
seperjuangannya dalam pemerintahan. Mas Manca dijadikan patih bergelar Patih
Mancanegara, sedangkan Mas Wila, dan Ki Wuragil dijadikan menteri berpangkat
ngabehi.
Sumpah setia Ki Ageng
Mataram
Sesuai perjanjian sayembara, Ki
Panjawi mendapatkan tanah di Pati dan bergelar Ki Ageng Pati. Sementara itu, Ki
Ageng Pemanahan masih menunggu karena seolah-olah Sultan Hadiwijaya menunda-nunda
penyerahan tanah Mataram. Sampai tahun 1556, tanah Mataram masih ditahan Sultan
Hadiwijaya. Ki Ageng Pemanahan segan untuk meminta. Sunan Kalijaga selaku guru
tampil sebagai penengah kedua muridnya itu. Ternyata, alasan penundaan hadiah
adalah dikarenakan rasa cemas Sultan Hadiwijaya ketika mendengar ramalan Sunan
Prapen bahwa di Mataram akan lahir sebuah kerajaan besar yang mampu mengalahkan
kebesaran Kerajaan Pajang. Ramalan itu didengarnya saat beliau dilantik menjadi
sultan usai kematian Arya Penangsang.
Sunan Kalidjaga meminta Sultan Hadiwijaya
agar menepati janjinya karena sebagai raja dia adalah panutan rakyat.
Sebaliknya, Ki Ageng Pemanahan juga diwajibkan bersumpah setia taat kepada
Pajang. Ki Ageng Pemanahan pun bersedia. Maka, selanjutnya Sultan Hadiwijaya
pun rela menyerahkan tanah Mataram kepada kakak angkatnya itu.
Tanah Mataram adalah bekas
kerajaan kuno, bernama Kerajaan Mataram yang saat itu sudah tertutup hutan
bernama Alas Mentaok. Ki Ageng Pemanahan sekeluarga, termasuk Ki Juru Martani,
membuka hutan tersebut menjadi desa Mataram. Meskipun hanya sebuah desa tetapi bersifat
perdikan atau sima swatantra. Ki Ageng Pemanahan yang kemudian bergelar Ki
Ageng Mataram, hanya diwajibkan menghadap ke Pajang secara rutin sebagai bukti
kesetiaan tanpa harus membayar pajak dan upeti.
Menundukkan Jawa Timur
Saat naik tahta, kekuasaan Sultan
Hadiwijaya hanya mencakup wilayah Jawa Tengah saja, karena sepeninggal Sultan
Trenggana, banyak daerah bawahan Demak yang melepaskan diri. Negeri-negeri di
Jawa Timur yang tergabung dalam Persekutuan Adipati Bang Wetan saat itu
dipimpin oleh Panji Wiryakrama bupati Surabaya.
Persekutuan adipati tersebut sedang menghadapi ancaman invansi dari berbagai
penjuru, yaitu Pajang, Madura, dan Blambangan.
Pada tahun 1568 Sunan Prapen
penguasa Giri Kedaton menjadi mediator pertemuan antara Sultan Hadiwijaya
dengan para adipati Bang Wetan. Sunan Prapen berhasil meyakinkan para adipati
sehingga mereka bersedia mengakui kedaulatan Kesultanan Pajang di atas negeri
yang mereka pimpin. Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama diambil
sebagai menantu oleh Sultan Hadiwijaya. Selain itu, Sultan Hadiwijaya juga
berhasil menundukkan Madura setelah penguasa pulau itu yang bernama Raden
Pratanu bergelar Panembahan Lemah Duwur Arosbaya menjadi menantunya.
Dalam pertemuan tahun 1568 itu,
Sunan Prapen untuk pertama kalinya berjumpa dengan Ki Ageng Pemanahan dan untuk
kedua kalinya meramalkan bahwa Pajang akan ditaklukkan Mataram melalui
keturunan Ki Ageng tersebut. Mendengar ramalan tersebut, Sultan Hadiwijaya
tidak lagi merasa cemas karena beliau menyerahkan semuanya pada kehendak
takdir.
Pemberontakan Sutawijaya
Sutawijaya adalah putra Ki Ageng
Pemanahan yang juga menjadi anak angkat Sultan Hadiwijaya. Sepeninggal ayahnya
tahun 1575, Sutawijaya menjadi penguasa baru di Mataram, dan diberi hak untuk
tidak menghadap selama setahun penuh. Waktu setahun berlalu dan Sutawijaya
tidak datang menghadap. Sultan Hadiwijaya mengirim Ngabehi Wilamarta dan
Ngabehi Wuragil untuk menanyakan kesetiaan Mataram. Mereka menemukan Sutawijaya
bersikap kurang sopan dan terkesan ingin memberontak. Namun, kedua pejabat
senior itu pandai menenangkan hati Sultan Hadiwijaya melalui laporan mereka
yang disampaikan secara halus.
Tahun demi tahun berlalu, dan
Sultan Hadiwijaya mendengar kemajuan Mataram semakin pesat. Beliau pun kembali
mengirim utusan untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya. Kali ini yang berangkat
adalah Pangeran Benawa (putra mahkota), Arya Pamalad (menantu yang menjadi
adipati Tuban), serta Patih Mancanegara. Ketiganya dijamu dengan pesta oleh
Sutawijaya. Di tengah keramaian pesta, putra sulung Sutawijaya yang bernama
Raden Rangga membunuh seorang prajurit Tuban yang didesak Arya Pamalad. Arya
Pamalad sendiri sejak awal kurang suka dengan Sutawijaya sekeluarga.
Oleh karena itu, sesampainya di
Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, sedangkan Pangeran Benawa
menjelaskan kalau peristiwa pembunuhan tersebut hanya kecelakaan saja. Sultan Hadiwijaya
menerima kedua laporan itu dan berusaha menahan diri.
Pada tahun 1582 seorang keponakan
Sutawijaya yang tinggal di Pajang, bernama Raden Pabelan dihukum mati karena
berani menyusup ke dalam keputrian menemui Ratu Sekar Kedaton (putri bungsu
Adiwijaya). Ayah Pabelan yang bernama Tumenggung Mayang dijatuhi hukuman buang
karena diduga ikut membantu anaknya. Ibu Raden Pabelan yang merupakan adik
perempuan Sutawijaya meminta bantuan ke Mataram. Sutawijaya pun mengirim utusan
untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya ke Semarang.
Kematian Sultan
Perbuatan Sutawijaya itu menjadi
alasan Sultan Hadiwijaya untuk menyerang Mataram. Perang antara kedua pihak pun
meletus. Pasukan Pajang bermarkas di Prambanan dengan jumlah lebih banyak, tetapi
menderita kekalahan. Sultan Hadiwijaya semakin tergoncang mendengar Gunung
Merapi tiba-tiba meletus dan laharnya ikut menerjang pasukan Pajang yang
berperang dekat gunung tersebut.
Sultan Hadiwijaya menarik
pasukannya mundur. Dalam perjalanan pulang, beliau singgah ke makam Sunan
Tembayat tetapi tidak mampu membuka pintu gerbangnya. Hal itu dianggapnya
sebagai firasat kalau ajalnya segera tiba. Sultan Hadiwijaya pun melanjutkan
perjalanan pulang. Di tengah jalan beliau jatuh dari punggung gajah
tunggangannya, sehingga harus diusung dengan tandu. Sesampai di Pajang, datang
makhluk halus anak buah Sutawijaya bernama Ki Juru Taman memukul dada Sultan Hadiwijaya,
membuat sakitnya bertambah parah.
Sultan Hadiwijaya berwasiat
supaya anak-anak dan menantunya jangan ada yang membenci Sutawijaya, karena
perang antara Pajang dan Mataram diyakininya sebagai takdir. Selain itu,
Sutawijaya sendiri adalah anak angkat Sultan Hadiwijaya yang dianggapnya
sebagai putra tertua. Pada cerita rakyat dinyatakan bahwa sebenarnya Sutawijaya
adalah anak kandung Sultan Hadiwijaya dengan anak Ki Ageng Sela. Sultan Hadiwijaya
alias Jaka Tingkir alias Mas Karebet akhirnya meninggal dunia tahun 1582. Sesuai
dengan wasiatnya, beliau dimakamkan di desa Butuh, yaitu kampung halaman ibu
kandungnya.
(Dikutip dan dirangkai dari
berbagai sumber, antara lain: Babad Tanah Jawi. Cetakan keempat 2008. Yogyakarta: Penerbit Narasi; dan sebuah novel berjudul
Joko Tongkir: Berjuang demi Takhta Pajang. Agus Wahyudi. 2010. Yogyakarta: Penerbit Narasi)