Wednesday, 21 March 2012

Kisah Joko Tingkir Berjuang Maraih Tahta Pajang


Nama aslinya adalah Mas Karèbèt, putra tunggal Ki Ageng Pengging Handayaningrat atau juga disebut Ki Kebo Kenanga. Ketika dia dilahirkan, ayahnya sedang menggelar pertunjukan wayang beber dengan dalang Ki Ageng Tingkir. Kedua ki ageng ini adalah murid kinasih Syekh Siti Jenar. Sepulang dari mendalang dari Pengging itu Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia.

Sepuluh tahun kemudian ada peristiwa yang menggegerkan Tanah Jawa, yaitu Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh memberontak terhadap Kesultanan Demak. Sebagai pelaksana hukuman ialah Sunan Kudus. Setelah kematian suaminya, Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal dunia pula. Sejak saat itu, Mas Karebet diambil sebagai anak angkat oleh Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir).

Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda yang gemar menuntut ilmu kanuragan dan kesuksmaan, dan kemudian dia dijuluki Jaka Tingkir, seorang perjaka tangkas dari desa Tingkir. Guru pertamanya adalah Sunan Kalidjaga yang menemuinya ketika dia sedang matun (menyiangi tanaman padi) di tengah sawah. Dia juga berguru kepada Ki Ageng Sela, yang terkenal dapat menangkap petir, dan dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi.

Mengabdi ke Demak
Babad Tanah Jawi selanjutnya mengisahkan, Jaka Tingkir ingin mengabdi ke ibu kota Demak. Di sana ia tinggal di rumah Kyai Gandamustaka (saudara Nyi Ageng Tingkir) yang menjadi perawat Masjid Demak berpangkat lurah ganjur. Jaka Tingkir pandai menarik simpati Sultan Trenggana sehingga ia diangkat menjadi kepala prajurit Demak berpangkat lurah wiratamtama.

Beberapa waktu tahun kemudian, Jaka Tingkir bertugas menyeleksi penerimaan prajurit baru. Ada seorang pelamar bernama Dadung Awuk yang sombong dan suka pamer kesaktian. Jaka Tingkir menguji kesaktiannya dan Dadung Awuk pun seketika tewas hanya dengan menggunakan “Sadak Kinang’. Akibatnya, Jaka Tingkir pun dipecat dari ketentaraan dan diusir dari Demak.

Jaka Tingkir tanpa tujuan pasti meninggalkan Demak Bintara, dan kemudian berguru kepada Ki Ageng Banyubiru dan Ki Kebo Kanigoro (saudara seperguruan ayahnya). Setelah tamat dari berguru tersebut, dia kembali ke Demak bersama ketiga murid yang lain, yaitu Mas Manca, Mas Wila, dan Ki Wuragil.

Rombongan Jaka Tingkir dari Bayubiru menyusuri Sungai Kedung Srengenge menggunakan rakit. Muncul kawanan siluman buaya menyerang mereka namun dapat ditaklukkan. Bahkan, kawanan tersebut kemudian membantu mendorong rakit sampai ke tujuan, yang ditembangkan sebagai berikut.

Sigra milir,
sang gethek sinangga bajul,
kawan dasa kang njageni,
ing ngarsa miwah ing pungkur,
tanapi ing kanan-kering,
sang gethek lampahnya alon.

Segera mengalir
sang rakit disangga oleh buaya-buaya,
empat puluh buaya yang menjaganya,
di depan serta di belakang,
juga di kanan dan di kiri,
sang rakit melaju tenang
(menuju ke istana Demak Bintara).

Pada saat itu Sultan Trenggana sekeluarga sedang berwisata di Gunung Prawoto. Jaka Tingkir melepas seekor kerbau gila yang dinamakan sebagai Kebo Danu yang sudah diberi mantra (diberi tanah kuburan pada telinganya). Kerbau itu mengamuk menyerang pesanggrahan sultan yang pada waktu itu tidak ada prajurit yang mampu menangkap kebondanu tersebut, apalagi membunuhnya, semuanya ketakutan. Jaka Tingkir tampil menghadapi kerbau gila. Kerbau itu dengan mudah dibunuhnya. Atas jasanya itu, Sultan Trenggana mengangkat kembali Jaka Tingkir menjadi lurah wiratamtama.

Kisah dalam naskah-naskah babad tersebut seolah hanya kiasan bahwa setelah dipecat, Jaka Tingkir menciptakan kerusuhan di Demak, dan dia tampil sebagai pahlawan yang meredakannya. Oleh karena itu, dia pun mendapatkan simpati Sultan kembali.

Menjadi Sultan Pajang
Prestasi Jaka Tingkir sangat cemerlang meskipun tidak diceritakan secara jelas dalam Babad Tanah Jawi. Hal itu dapat dilihat dengan diangkatnya Jaka Tingkir sebagai Adipati Pajang bergelar Adipati Hadiwijaya. Dia juga menikahi Ratu Mas Cempa, putri Sultan Trenggana.

Sepeninggal Sultan Trenggana tahun 1546, putranya yang bergelar Sunan Prawoto seharusnya naik takhta, tapi kemudian dia tewas dibunuh Arya Penangsang (sepupunya di Jipang) tahun 1549. Arya Penangsang membunuh karena Sunan Prawoto sebelumnya membunuh juga ayah Arya Penangsang yang bernama Pangeran Sekar Seda Lepen (Bunga yang tewas di sungai) sewaktu ayah Arya Penangsang tersebut menyelesaikan salat ashar di tepi Bengawan Sore. Pangeran Sekar merupakan adik Kandung Sultan Trenggana sekaligus juga merupakan murid pertama Sunan Kudus. Pembunuhan-pembunuhan ini dilakukan dengan menggunakan Keris Kiai Setan Kober. Selain itu, Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri suami dari Ratu Kalinyamat yang menjadi bupati Jepara.

Kemudian Arya Penangsang mengirim utusan untuk membunuh Hadiwijaya di Pajang, tetapi gagal. Justru Hadiwijaya menjamu para pembunuh itu dengan baik, serta memberi mereka hadiah untuk mempermalukan Arya Penangsang. Sepeninggal suaminya, Ratu Kalinyamat (adik Sunan Prawoto) mendesak Hadiwijaya agar menumpas Arya Penangsang karena hanya ia yang setara kesaktiannya dengan adipati Jipang tersebut. Hadiwijaya segan memerangi Arya Penangsang secara langsung karena sama-sama anggota keluarga Demak dan merupakan saudara seperguruan sama-sama murid Sunan Kudus.

Oleh karena itu, Hadiwijaya pun segera mengadakan sayembara. Barang siapa dapat membunuh Arya Penangsang akan mendapatkan tanah Pati dan hutan mentaok/ Mataram sebagai hadiah. Sayembara diikuti kedua cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Dalam perang itu, Ki Juru Martani (kakak ipar Ki Ageng Pemanahan) berhasil menyusun siasat cerdik sehingga sehingga Sutawijaya (Anak Ki Ageng Pemanahan) dapat menewaskan Arya Penangsang setelah menusukkan Tombak Kyai Plered ketika Arya Penangsang menyeberang Bengawan Sore dengan mengendarai Kuda Jantan Gagak Rimang.

Setelah peristiwa tahun 1549 tersebut, pusat kerajaan tersebut kemudian dipindah ke Pajang dengan Sultan Hdiwijaya sebagai sultan pertama. Demak kemudian dijadikan Kadipaten dengan anak Sunan Prawoto yang menjadi Adipatinya. Sultan Hadiwijaya juga mengangkat rekan-rekan seperjuangannya dalam pemerintahan. Mas Manca dijadikan patih bergelar Patih Mancanegara, sedangkan Mas Wila, dan Ki Wuragil dijadikan menteri berpangkat ngabehi.

Sumpah setia Ki Ageng Mataram
Sesuai perjanjian sayembara, Ki Panjawi mendapatkan tanah di Pati dan bergelar Ki Ageng Pati. Sementara itu, Ki Ageng Pemanahan masih menunggu karena seolah-olah Sultan Hadiwijaya menunda-nunda penyerahan tanah Mataram. Sampai tahun 1556, tanah Mataram masih ditahan Sultan Hadiwijaya. Ki Ageng Pemanahan segan untuk meminta. Sunan Kalijaga selaku guru tampil sebagai penengah kedua muridnya itu. Ternyata, alasan penundaan hadiah adalah dikarenakan rasa cemas Sultan Hadiwijaya ketika mendengar ramalan Sunan Prapen bahwa di Mataram akan lahir sebuah kerajaan besar yang mampu mengalahkan kebesaran Kerajaan Pajang. Ramalan itu didengarnya saat beliau dilantik menjadi sultan usai kematian Arya Penangsang.

Sunan Kalidjaga meminta Sultan Hadiwijaya agar menepati janjinya karena sebagai raja dia adalah panutan rakyat. Sebaliknya, Ki Ageng Pemanahan juga diwajibkan bersumpah setia taat kepada Pajang. Ki Ageng Pemanahan pun bersedia. Maka, selanjutnya Sultan Hadiwijaya pun rela menyerahkan tanah Mataram kepada kakak angkatnya itu.

Tanah Mataram adalah bekas kerajaan kuno, bernama Kerajaan Mataram yang saat itu sudah tertutup hutan bernama Alas Mentaok. Ki Ageng Pemanahan sekeluarga, termasuk Ki Juru Martani, membuka hutan tersebut menjadi desa Mataram. Meskipun hanya sebuah desa tetapi bersifat perdikan atau sima swatantra. Ki Ageng Pemanahan yang kemudian bergelar Ki Ageng Mataram, hanya diwajibkan menghadap ke Pajang secara rutin sebagai bukti kesetiaan tanpa harus membayar pajak dan upeti.

Menundukkan Jawa Timur
Saat naik tahta, kekuasaan Sultan Hadiwijaya hanya mencakup wilayah Jawa Tengah saja, karena sepeninggal Sultan Trenggana, banyak daerah bawahan Demak yang melepaskan diri. Negeri-negeri di Jawa Timur yang tergabung dalam Persekutuan Adipati Bang Wetan saat itu dipimpin oleh Panji Wiryakrama bupati Surabaya. Persekutuan adipati tersebut sedang menghadapi ancaman invansi dari berbagai penjuru, yaitu Pajang, Madura, dan Blambangan.

Pada tahun 1568 Sunan Prapen penguasa Giri Kedaton menjadi mediator pertemuan antara Sultan Hadiwijaya dengan para adipati Bang Wetan. Sunan Prapen berhasil meyakinkan para adipati sehingga mereka bersedia mengakui kedaulatan Kesultanan Pajang di atas negeri yang mereka pimpin. Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama diambil sebagai menantu oleh Sultan Hadiwijaya. Selain itu, Sultan Hadiwijaya juga berhasil menundukkan Madura setelah penguasa pulau itu yang bernama Raden Pratanu bergelar Panembahan Lemah Duwur Arosbaya menjadi menantunya.

Dalam pertemuan tahun 1568 itu, Sunan Prapen untuk pertama kalinya berjumpa dengan Ki Ageng Pemanahan dan untuk kedua kalinya meramalkan bahwa Pajang akan ditaklukkan Mataram melalui keturunan Ki Ageng tersebut. Mendengar ramalan tersebut, Sultan Hadiwijaya tidak lagi merasa cemas karena beliau menyerahkan semuanya pada kehendak takdir.

Pemberontakan Sutawijaya
Sutawijaya adalah putra Ki Ageng Pemanahan yang juga menjadi anak angkat Sultan Hadiwijaya. Sepeninggal ayahnya tahun 1575, Sutawijaya menjadi penguasa baru di Mataram, dan diberi hak untuk tidak menghadap selama setahun penuh. Waktu setahun berlalu dan Sutawijaya tidak datang menghadap. Sultan Hadiwijaya mengirim Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil untuk menanyakan kesetiaan Mataram. Mereka menemukan Sutawijaya bersikap kurang sopan dan terkesan ingin memberontak. Namun, kedua pejabat senior itu pandai menenangkan hati Sultan Hadiwijaya melalui laporan mereka yang disampaikan secara halus.

Tahun demi tahun berlalu, dan Sultan Hadiwijaya mendengar kemajuan Mataram semakin pesat. Beliau pun kembali mengirim utusan untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya. Kali ini yang berangkat adalah Pangeran Benawa (putra mahkota), Arya Pamalad (menantu yang menjadi adipati Tuban), serta Patih Mancanegara. Ketiganya dijamu dengan pesta oleh Sutawijaya. Di tengah keramaian pesta, putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden Rangga membunuh seorang prajurit Tuban yang didesak Arya Pamalad. Arya Pamalad sendiri sejak awal kurang suka dengan Sutawijaya sekeluarga.

Oleh karena itu, sesampainya di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, sedangkan Pangeran Benawa menjelaskan kalau peristiwa pembunuhan tersebut hanya kecelakaan saja. Sultan Hadiwijaya menerima kedua laporan itu dan berusaha menahan diri.

Pada tahun 1582 seorang keponakan Sutawijaya yang tinggal di Pajang, bernama Raden Pabelan dihukum mati karena berani menyusup ke dalam keputrian menemui Ratu Sekar Kedaton (putri bungsu Adiwijaya). Ayah Pabelan yang bernama Tumenggung Mayang dijatuhi hukuman buang karena diduga ikut membantu anaknya. Ibu Raden Pabelan yang merupakan adik perempuan Sutawijaya meminta bantuan ke Mataram. Sutawijaya pun mengirim utusan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya ke Semarang.

Kematian Sultan
Perbuatan Sutawijaya itu menjadi alasan Sultan Hadiwijaya untuk menyerang Mataram. Perang antara kedua pihak pun meletus. Pasukan Pajang bermarkas di Prambanan dengan jumlah lebih banyak, tetapi menderita kekalahan. Sultan Hadiwijaya semakin tergoncang mendengar Gunung Merapi tiba-tiba meletus dan laharnya ikut menerjang pasukan Pajang yang berperang dekat gunung tersebut.

Sultan Hadiwijaya menarik pasukannya mundur. Dalam perjalanan pulang, beliau singgah ke makam Sunan Tembayat tetapi tidak mampu membuka pintu gerbangnya. Hal itu dianggapnya sebagai firasat kalau ajalnya segera tiba. Sultan Hadiwijaya pun melanjutkan perjalanan pulang. Di tengah jalan beliau jatuh dari punggung gajah tunggangannya, sehingga harus diusung dengan tandu. Sesampai di Pajang, datang makhluk halus anak buah Sutawijaya bernama Ki Juru Taman memukul dada Sultan Hadiwijaya, membuat sakitnya bertambah parah.

Sultan Hadiwijaya berwasiat supaya anak-anak dan menantunya jangan ada yang membenci Sutawijaya, karena perang antara Pajang dan Mataram diyakininya sebagai takdir. Selain itu, Sutawijaya sendiri adalah anak angkat Sultan Hadiwijaya yang dianggapnya sebagai putra tertua. Pada cerita rakyat dinyatakan bahwa sebenarnya Sutawijaya adalah anak kandung Sultan Hadiwijaya dengan anak Ki Ageng Sela. Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir alias Mas Karebet akhirnya meninggal dunia tahun 1582. Sesuai dengan wasiatnya, beliau dimakamkan di desa Butuh, yaitu kampung halaman ibu kandungnya.

(Dikutip dan dirangkai dari berbagai sumber, antara lain: Babad Tanah Jawi. Cetakan keempat 2008. Yogyakarta: Penerbit Narasi; dan sebuah novel berjudul Joko Tongkir: Berjuang demi Takhta Pajang. Agus Wahyudi. 2010. Yogyakarta: Penerbit Narasi)

Pertemuan 15 Teori Sastra Tempatan